Rabu, 20 Maret 2013

BADAI LAUT BIRU


BADAI LAUT BIRU
                                       
Siang itu sangat terik. Matahari membakar pantai berpasir putih di Pantai Krakal, sehingga terasa menyilaukan mata. Tiang – tiang perahu tua bagai gemetaran dipermainkan angin dan ombak, bagai menari – nari di bibir pantai. Batu – batu besarpun menjulang menghiasi pojok pantai dengan kokohnya diterjang ombak yang merapat ke pantai. Disanalah kehidupan para nelayan berjalan rutin mengikuti ehendak alam.

         Tak jauh dari sebuah perahu yang terus menari, Rois mengemasi bekal – bekal pelayaran., jala dan kail, juga keranjang – keranjang ikan, lalu menaikkannya ke geladak perahunya. Tiba – tiba ombak besar menghantam dinding perahunya sehingga terguncang keras. Rois  yang sedang berpegang pada bibir perahu, hampir terpental. Karena guncangan itu, keranjang – keranjang yang dia tenteng terlepas dan hanyut terseret ombak. Dengan cepat Rois mengejarnya dan berhasil meraihnya. Tapi  sayang, yang tertangkap hanya satu keranjang yang paling kecil. Dengan cepat dan sekenanya dia melemparkan keranjang itu ke perahu, sehingga hampir mengenai kawannya yang sedang berdiri di geladak , merapikan letak tali layar perahu dan jaring – jaring ikan. Melihat Rois kepayahan, lelaki di geladak itu, Afrian, dengan tangkas meloncat kearah Rois dan mengambil alih keranjang – keranjang yang dibawanya. Setumpuk keranjang yang kokoh itu memang terasa berat karena basah. Sampai di dinding perahu, Rois sudah hamper lunglai. Afrian melemparkan tumpukan keranjang ke geladak lalu dengan kedua tangannya yang kekar, dia mengangkat tubuhnya dan meloncat ke geladak. Rois sudah tidak kuat, sehingga naik ke geladak di bantu oleh Afrian dengan menarik tangannya sampai berhasil naik ke geladak.
   “Pelaut macam apa kau! Baru begitu saja sudah mau pingsan, “ejek Afrian. Rois hanya tersenyum pahit.
          Perahu mereka benar – benar sudah sangat tua . Umurnya kira – kira seusia Ayah Rois yang sudah berumur 70 tahun. Selama dua tahun , dia pun berusaha mencari pekerjaan yang layak sesuai dengan ijazahnya, namun hasilnya nihil. Kemudian atas anjuran ayahnya, Rois ikut menjadi awak perahu milik sang ayah sampai sekarang. Dia mulai pasrah pada kehendak alam , mau jadi apa dia kelak. Dan Afrian adalah anak pamannya yang bernasib sama. Gagal masuk perguruan tinggi negeri dan gagal mencari pekerjaan kantoran.
    “Angkat sauh. Kita akan segera bertolak!” seru Pak Sulaiman.
Rois kaget dan segera bangkit. Dia melihat seseorang terjun ke air dan segera melepaskan tali perahu yang terikat pada tonggak di bibir pantai. Rois segera membantunya dengan menarik   dan menaikkan tali itu ke geladak. Dicakrawala selatan tampak mendung hitam bergumpalan. Matahari sudah condong ke ufuk barat. Dayung – dayung berkecimpung dan perlahan – lahan perahu tua itu meninggalkan daratan melaju kearah selatan, semakin ketengah dan terus ketengah.  “ Kembangkan layar! Angin sudah mulai lambat dan mulai akan berganti arah.” Teriak Pak Sulaiman, ayahnya Rois. Maka awak perahupun mengembangkan layar . Rois siap dengan merentangkan tali layar membentang ke haluan. Perlahan lahan layarpun terkembang dan tertiup angin ke samping kanan.  Perahu menjadi tidak seimbang dan miring . Dengan reflek para awak perahu mencari keseimbangan. “ Belokkan haluan kekanan!” teriak Pak Sulaiman. Mereka segera mendayung perahu agar berbelok kearah kanan.  Rois dan Afrian membetulkan letak layar dengan menarik tali – talinya. Perahupun perlahan – lahan membelok enam puluh derajat ke kanan, kemudian melaju dengan tenang.
           Jala-jala warna biru tua mulai diturunkan. Begitu pula beberapa kail yang telah disiapkan. Kail-kail itu masing –masing diberi pelampung sepotong kayu agar tidak tenggelam ke dasar laut. Jarak antara pelampung dan kail sekitar satu meter. Masing –masing diberi umpan sepotong ikan kecil. Biasanya ikan belanak atau udang. Apabila ada ikan yang memakan umpan, kayu pelampung akan terlihat tertarik-tarik timbul tenggelam di permukaan air, tertarik sesuai arah ikan. Tarikan dan gerakan pelampung itu kadang – kadang cepat dan keras, kadang –kadang lemah dan perlahan, tergantung pada jenis dan besar kecilnya ikan. Ikan kakap biasanya menarik umpan dengan cepat dan  keras. Ikan tongkol dan tenggiri suka memakan umpan dengan menghentak-hentakkannya ke bawah. Semakin besar ikan yang memakan umpan, akan lebih pelan gerakannya, namun terasa lebih berat dan mantap. Jala-jala yang dipasang di kanan kiri perahu biasanya diangkat seperempat jam sekali, atau sewaktu-waktu bilamana perlu. Sedangkan jala – jala akan dilempar sekali –sekali atau berkali-kali apabila diperkirakan perahu sedang berada di daerah yang banyak ikannya. Seorang nelayan yang sudah berpengalaman dapat membedakan mana air yang banyak mengandung ikan dan mana yang tidak, yang dapat diketahui dari gerak airnya.    
***
          Perahu tua itu masih melaju dengan tenang sebab belum sampai di daerah sarang ikan yang mereka tuju seperti hari-hari kemarin. Pada saat demikian, para awak perahu dapat beristirahat sebentar untuk melepaskan lelah. Rois dan Afrian duduk di emper gubuk perahu, memandang langit yang tampak kebiruan di celah-celah awan putih dan hitam. Matahari timbul dan tenggelam di balik awan. Mereka mengalihkan pandangan ke laut yang semakin tampak biru. Ikan – ikan kecil berloncatan di kanan kiri perahu. Loncatan ikan yang tinggi kadang kadang masuk ke geladak perahu. Rois dan Afrian bisa bersendau-gurau sejenak.
   “ Kemarin asyik ya, dapat tangkapannya banyak. Kalau begitu terus hasilnya, enak, ya kita bisa ikut dapat uang banyak. “ Canda si Rois.
   “ Ya hidup kita sedikit senang. Tapi sekarang, panen ikan baru seminggu saja sudah habis dan hasil kita tidak selalu banyak. Dulu sebelum ada pukat harimau, panen ikan dapat kita nikmati sampai kira-kira tiga bulan. Waktu itu hasil tangkapan kita dapat untuk membeli apa-apa. Sedangkan sekarang, dapat kau lihat sendiri. Kita semakin melarat saja. Untuk membeli perlengkapan perahu saja sangat sulit, “ keluh Afrian.
   “Sekarang, kan sudah ada undang-undang yang melarang pukat-pukat harimau beroperasi di daerah kita.” Kata Rois.
   “Ya tapi apa guna undang-undang kalau perampok – perampok ikan itu masih dapat dengan bebas dan seenaknya beroperasi di daerah kita.”
   “ Apakah kita tak pernah lapor tentang pelanggaran – pelanggaran mereka?”
   “ Sampai bosan , Rois. Tapi tak ada hasilnya. Kita bahkan semakin jengkel saja. Teknologi modern kadang – kadang bahkan menjadi alat penindas rakyat kecil. Bahkan sering terjadi perkelahian nelayan kecil melawan nelayan pukat harimau di pantai Jepara yang berakhir dengan tragedy pembunuhan. Dan itupun terjadi pada kita juga, apa tidak jengkel kalau sumber pangannya dirampok? Kalau kita tidak sabar mungkin sejak dulu kita sudah bentrok dengan para perampok itu.”
   “ Ya frian, akupun merasakan hal itu. Tapi, situasi hanya semakin membuat kita tak berdaya. Situasi hanya semakin membuat kita tak berdaya.”
        Tak terasa perahu memasuki daerah sarang ikan. Para awak perahu mulai sibuk melayani alat-alat penangkap ikan. Rois dan Afrian menceburkan diri kedalam kesibukan itu. Ada sebuah pukat harimau yang sedang beroperasi disitu. Padahal, daerah itu termasuk daerah terlarang bagi pukat harimau. Ketika kedua perahu itu berdekatan, Pak Sulaiman bertepuk tangan dengan keras lalu mengacungkan kepalnya dengan maksud agar sang pukat harimau segera menyingkir dari tempat itu. Rupanya sang pukat harimau tahu diri. Perahu itu segera menyingkir di tengah. Para awak perahu Rois semakin sibuk dengan ikan – ikan yang tertangkap jala dan kail mereka. Dua keranjang sudah hampir penuh ikan. Dalam kesibukan itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh pukat harimau tadi yang melaju dengan cepat dari timur laut ke arah perahu mereka. Pak Sulaiman segera berdiri dan menanti apa maksud perahu itu. Ketika sang pukat sudah sangat dekat dengan perahu tadi, seseorang yang berdiri di haluannya berteriak keras, “ Cepat tinggalkan tempat ini! Pesawat radar kami mengisaratkan badai akan melanda tempat ini!” Pak Sulaiman hampir tidak percaya pada berita itu. Rois menatap langit.  Langit telah berubah menjadi kelam dengan mendung hitam bergumpalan tebal berarak ke selatan. Langit seperti mau runtuh. Pak Sulaiman segera melihat berkeliling. Dia melihat tanda-tanda aneh. Laut di sekeliling perahunya tampak tenang tanpa ombak sedikitpun. Bagai laut mati. Dia yang sudah berpengalaman segera memberi perintah, “ Cepat, kita tinggalkan tempat ini! Badai betul-betul akan datang!”
         Para awak perahu bagai tersentak. Semua segera kembali ke bagiannya masing-masing. Haluan diputar. Kemudian, dengan dibantu dayung-dayung, perahu segera di laju ke barat daya. Namun, terlambat. Suara gemuruh sekonyong – konyong datang dari arah timur laut. Angin mendadak meneerpa sangat keras, disertai ombak yang semakin besar menghantami dinding perahu mereka tanpa kenal ampun. Perahu tua itu tergoncang-goncang keras. Dengan susah payah, mereka menggulung layar untuk menghindari amukan angin. Tapi, angin kencang lebih kuat menghantamnya. Layar tua itu terkembang kembali dengan keras bagai disentakkan. Perahu hampir terbalik. Dan, “kreeek”, layar tua itu robek. Perahu terayun-ayun keras, lalu perlahan-lahan miring ke kanan dan seluruh isi geladak tiba-tiba terlempar ke laut.
         Pak Sulaiman dengan sigap melemparkan ban -ban dan pelampung. Rois terbanting ke geladak dengan keras. Dan, “brruuuuaaakkk!” gubuk reyot di atas perahu itu pun diempaskan angin dan roboh menghantam dinding perahu.
         Pak Sulaiman berteriak keras, ”Selamatkan diri kalian masing–masing. Perahu akan terbalik!!!.” Rois meloncat ke laut. Pada detik –detik yang menegangkan, Pak Sulaiman dan Afrian loncat ke laut yg bergelombang besar. Mereka berenang untuk menyelamatkan diri. Tubuh Rois semakin lemas. Dia hanya dapat berusaha untuk mengambang saja. Badai semakin mereda, namun Rois menyadari bahwa kekuatannya sangat terbatas dan sebentar lagi tenaganya habis. Tentu saja akibatnya bisa fatal kalau pertolongan tidak segera datang. Matanya mencari –cari kalau ada kayu / ban yang terapung di sekitarnya yang dapat digunakan untuk tempat bertumpu.
         Pada saat itu, Pak Sulaiman berhasil menjebol selembar papan geladak perahu yang terbalik dan ia bermaksud utuk mencari anaknya. Setelah menemukan Rois yang mengambang Pak Sulaiman memberikan papan itu pada Rois.
”Ini pakailah untuk bertumpu karna ini hanya cukup untuk seorang saja,”
“Bagaimana dengan Ayah..?”
“Jangan pikirkan diriku. Kau masih mempunyai harapan hidup yang panjang.”
Pak Sulaiman meninggalkan mereka, berenang menembus ombak, dan hilang dari pandangan Rois. Ssekitar setengah jam kemudian, badai benar benar mereda dan laut tenang. Kapal pukat harimau mendekat dan mengangkat Rois. Rois membuka matanya dan Afrian sudah berjongkok di sampingnya sambil tersenyum –senyum.
“Oh, Afrian dimana kita..?”
“Diatas pukat harimau. Kita tidak jadi masuk akhirat.”
“Dimna Pak Sulaiman dan yang lainnya?”
“Jangan khawatir, semuanya selamat.”
“Ya…Untung aku tadi kebagian sebuah ban.”
         Rois tersenyum dan semua awak kapal sangat berterima kisih kepada Pak Sulaiman. Karna Pak Sulaiman yang menyelamatkan mereka semua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar