BADAI LAUT BIRU
Siang itu sangat terik.
Matahari membakar pantai berpasir putih di Pantai Krakal, sehingga terasa
menyilaukan mata. Tiang – tiang perahu tua bagai gemetaran dipermainkan angin
dan ombak, bagai menari – nari di bibir pantai. Batu – batu besarpun menjulang
menghiasi pojok pantai dengan kokohnya diterjang ombak yang merapat ke pantai.
Disanalah kehidupan para nelayan berjalan rutin mengikuti ehendak alam.
Tak jauh dari sebuah perahu yang terus
menari, Rois mengemasi bekal – bekal pelayaran., jala dan kail, juga keranjang
– keranjang ikan, lalu menaikkannya ke geladak perahunya. Tiba – tiba ombak
besar menghantam dinding perahunya sehingga terguncang keras. Rois yang sedang berpegang pada bibir perahu,
hampir terpental. Karena guncangan itu, keranjang – keranjang yang dia tenteng
terlepas dan hanyut terseret ombak. Dengan cepat Rois mengejarnya dan berhasil
meraihnya. Tapi sayang, yang tertangkap
hanya satu keranjang yang paling kecil. Dengan cepat dan sekenanya dia
melemparkan keranjang itu ke perahu, sehingga hampir mengenai kawannya yang
sedang berdiri di geladak , merapikan letak tali layar perahu dan jaring –
jaring ikan. Melihat Rois kepayahan, lelaki di geladak itu, Afrian, dengan tangkas
meloncat kearah Rois dan mengambil alih keranjang – keranjang yang dibawanya.
Setumpuk keranjang yang kokoh itu memang terasa berat karena basah. Sampai di
dinding perahu, Rois sudah hamper lunglai. Afrian melemparkan tumpukan
keranjang ke geladak lalu dengan kedua tangannya yang kekar, dia mengangkat
tubuhnya dan meloncat ke geladak. Rois sudah tidak kuat, sehingga naik ke
geladak di bantu oleh Afrian dengan menarik tangannya sampai berhasil naik ke
geladak.
“Pelaut macam apa kau! Baru begitu saja
sudah mau pingsan, “ejek Afrian. Rois hanya tersenyum pahit.
Perahu mereka benar – benar sudah
sangat tua . Umurnya kira – kira seusia Ayah Rois yang sudah berumur 70 tahun.
Selama dua tahun , dia pun berusaha mencari pekerjaan yang layak sesuai dengan
ijazahnya, namun hasilnya nihil. Kemudian atas anjuran ayahnya, Rois ikut
menjadi awak perahu milik sang ayah sampai sekarang. Dia mulai pasrah pada
kehendak alam , mau jadi apa dia kelak. Dan Afrian adalah anak pamannya yang
bernasib sama. Gagal masuk perguruan tinggi negeri dan gagal mencari pekerjaan
kantoran.
“Angkat sauh. Kita akan segera bertolak!”
seru Pak Sulaiman.
Rois kaget dan segera
bangkit. Dia melihat seseorang terjun ke air dan segera melepaskan tali perahu
yang terikat pada tonggak di bibir pantai. Rois segera membantunya dengan
menarik dan menaikkan tali itu ke
geladak. Dicakrawala selatan tampak mendung hitam bergumpalan. Matahari sudah
condong ke ufuk barat. Dayung – dayung berkecimpung dan perlahan – lahan perahu
tua itu meninggalkan daratan melaju kearah selatan, semakin ketengah dan terus
ketengah. “ Kembangkan layar! Angin
sudah mulai lambat dan mulai akan berganti arah.” Teriak Pak Sulaiman, ayahnya
Rois. Maka awak perahupun mengembangkan layar . Rois siap dengan merentangkan
tali layar membentang ke haluan. Perlahan lahan layarpun terkembang dan tertiup
angin ke samping kanan. Perahu menjadi
tidak seimbang dan miring . Dengan reflek para awak perahu mencari
keseimbangan. “ Belokkan haluan kekanan!” teriak Pak Sulaiman. Mereka segera
mendayung perahu agar berbelok kearah kanan.
Rois dan Afrian membetulkan letak layar dengan menarik tali – talinya.
Perahupun perlahan – lahan membelok enam puluh derajat ke kanan, kemudian
melaju dengan tenang.
Jala-jala warna biru tua mulai
diturunkan. Begitu pula beberapa kail yang telah disiapkan. Kail-kail itu
masing –masing diberi pelampung sepotong kayu agar tidak tenggelam ke dasar
laut. Jarak antara pelampung dan kail sekitar satu meter. Masing –masing diberi
umpan sepotong ikan kecil. Biasanya ikan belanak atau udang. Apabila ada ikan
yang memakan umpan, kayu pelampung akan terlihat tertarik-tarik timbul
tenggelam di permukaan air, tertarik sesuai arah ikan. Tarikan dan gerakan
pelampung itu kadang – kadang cepat dan keras, kadang –kadang lemah dan
perlahan, tergantung pada jenis dan besar kecilnya ikan. Ikan kakap biasanya
menarik umpan dengan cepat dan keras.
Ikan tongkol dan tenggiri suka memakan umpan dengan menghentak-hentakkannya ke
bawah. Semakin besar ikan yang memakan umpan, akan lebih pelan gerakannya,
namun terasa lebih berat dan mantap. Jala-jala yang dipasang di kanan kiri
perahu biasanya diangkat seperempat jam sekali, atau sewaktu-waktu bilamana
perlu. Sedangkan jala – jala akan dilempar sekali –sekali atau berkali-kali
apabila diperkirakan perahu sedang berada di daerah yang banyak ikannya.
Seorang nelayan yang sudah berpengalaman dapat membedakan mana air yang banyak
mengandung ikan dan mana yang tidak, yang dapat diketahui dari gerak airnya.
***
Perahu tua itu masih melaju dengan
tenang sebab belum sampai di daerah sarang ikan yang mereka tuju seperti
hari-hari kemarin. Pada saat demikian, para awak perahu dapat beristirahat
sebentar untuk melepaskan lelah. Rois dan Afrian duduk di emper gubuk perahu,
memandang langit yang tampak kebiruan di celah-celah awan putih dan hitam.
Matahari timbul dan tenggelam di balik awan. Mereka mengalihkan pandangan ke
laut yang semakin tampak biru. Ikan – ikan kecil berloncatan di kanan kiri
perahu. Loncatan ikan yang tinggi kadang kadang masuk ke geladak perahu. Rois
dan Afrian bisa bersendau-gurau sejenak.
“ Kemarin asyik ya, dapat tangkapannya
banyak. Kalau begitu terus hasilnya, enak, ya kita bisa ikut dapat uang banyak.
“ Canda si Rois.
“ Ya hidup kita sedikit senang. Tapi
sekarang, panen ikan baru seminggu saja sudah habis dan hasil kita tidak selalu
banyak. Dulu sebelum ada pukat harimau, panen ikan dapat kita nikmati sampai
kira-kira tiga bulan. Waktu itu hasil tangkapan kita dapat untuk membeli
apa-apa. Sedangkan sekarang, dapat kau lihat sendiri. Kita semakin melarat
saja. Untuk membeli perlengkapan perahu saja sangat sulit, “ keluh Afrian.
“Sekarang, kan sudah ada undang-undang yang
melarang pukat-pukat harimau beroperasi di daerah kita.” Kata Rois.
“Ya tapi apa guna undang-undang kalau
perampok – perampok ikan itu masih dapat dengan bebas dan seenaknya beroperasi
di daerah kita.”
“ Apakah kita tak pernah lapor tentang
pelanggaran – pelanggaran mereka?”
“ Sampai bosan , Rois. Tapi tak ada
hasilnya. Kita bahkan semakin jengkel saja. Teknologi modern kadang – kadang
bahkan menjadi alat penindas rakyat kecil. Bahkan sering terjadi perkelahian
nelayan kecil melawan nelayan pukat harimau di pantai Jepara yang berakhir
dengan tragedy pembunuhan. Dan itupun terjadi pada kita juga, apa tidak jengkel
kalau sumber pangannya dirampok? Kalau kita tidak sabar mungkin sejak dulu kita
sudah bentrok dengan para perampok itu.”
“ Ya frian, akupun merasakan hal itu. Tapi,
situasi hanya semakin membuat kita tak berdaya. Situasi hanya semakin membuat
kita tak berdaya.”
Tak terasa perahu memasuki daerah
sarang ikan. Para awak perahu mulai sibuk melayani alat-alat penangkap ikan.
Rois dan Afrian menceburkan diri kedalam kesibukan itu. Ada sebuah pukat
harimau yang sedang beroperasi disitu. Padahal, daerah itu termasuk daerah
terlarang bagi pukat harimau. Ketika kedua perahu itu berdekatan, Pak Sulaiman
bertepuk tangan dengan keras lalu mengacungkan kepalnya dengan maksud agar sang
pukat harimau segera menyingkir dari tempat itu. Rupanya sang pukat harimau
tahu diri. Perahu itu segera menyingkir di tengah. Para awak perahu Rois
semakin sibuk dengan ikan – ikan yang tertangkap jala dan kail mereka. Dua
keranjang sudah hampir penuh ikan. Dalam kesibukan itu, tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh pukat harimau tadi yang melaju dengan cepat dari timur laut ke
arah perahu mereka. Pak Sulaiman segera berdiri dan menanti apa maksud perahu
itu. Ketika sang pukat sudah sangat dekat dengan perahu tadi, seseorang yang
berdiri di haluannya berteriak keras, “ Cepat tinggalkan tempat ini! Pesawat
radar kami mengisaratkan badai akan melanda tempat ini!” Pak Sulaiman hampir
tidak percaya pada berita itu. Rois menatap langit. Langit telah berubah menjadi kelam dengan mendung
hitam bergumpalan tebal berarak ke selatan. Langit seperti mau runtuh. Pak
Sulaiman segera melihat berkeliling. Dia melihat tanda-tanda aneh. Laut di
sekeliling perahunya tampak tenang tanpa ombak sedikitpun. Bagai laut mati. Dia
yang sudah berpengalaman segera memberi perintah, “ Cepat, kita tinggalkan
tempat ini! Badai betul-betul akan datang!”
Para awak perahu bagai tersentak.
Semua segera kembali ke bagiannya masing-masing. Haluan diputar. Kemudian,
dengan dibantu dayung-dayung, perahu segera di laju ke barat daya. Namun,
terlambat. Suara gemuruh sekonyong – konyong datang dari arah timur laut. Angin
mendadak meneerpa sangat keras, disertai ombak yang semakin besar menghantami
dinding perahu mereka tanpa kenal ampun. Perahu tua itu tergoncang-goncang
keras. Dengan susah payah, mereka menggulung layar untuk menghindari amukan
angin. Tapi, angin kencang lebih kuat menghantamnya. Layar tua itu terkembang
kembali dengan keras bagai disentakkan. Perahu hampir terbalik. Dan, “kreeek”,
layar tua itu robek. Perahu terayun-ayun keras, lalu perlahan-lahan miring ke
kanan dan seluruh isi geladak tiba-tiba terlempar ke laut.
Pak Sulaiman dengan sigap melemparkan
ban -ban dan pelampung. Rois terbanting ke geladak dengan keras. Dan,
“brruuuuaaakkk!” gubuk reyot di atas perahu itu pun diempaskan angin dan roboh
menghantam dinding perahu.
Pak Sulaiman berteriak keras,
”Selamatkan diri kalian masing–masing. Perahu akan terbalik!!!.” Rois meloncat
ke laut. Pada detik –detik yang menegangkan, Pak Sulaiman dan Afrian loncat ke
laut yg bergelombang besar. Mereka berenang untuk menyelamatkan diri. Tubuh
Rois semakin lemas. Dia hanya dapat berusaha untuk mengambang saja. Badai
semakin mereda, namun Rois menyadari bahwa kekuatannya sangat terbatas dan
sebentar lagi tenaganya habis. Tentu saja akibatnya bisa fatal kalau
pertolongan tidak segera datang. Matanya mencari –cari kalau ada kayu / ban
yang terapung di sekitarnya yang dapat digunakan untuk tempat bertumpu.
Pada saat itu, Pak Sulaiman berhasil
menjebol selembar papan geladak perahu yang terbalik dan ia bermaksud utuk
mencari anaknya. Setelah menemukan Rois yang mengambang Pak Sulaiman memberikan
papan itu pada Rois.
”Ini
pakailah untuk bertumpu karna ini hanya cukup untuk seorang saja,”
“Bagaimana
dengan Ayah..?”
“Jangan
pikirkan diriku. Kau masih mempunyai harapan hidup yang panjang.”
Pak Sulaiman meninggalkan
mereka, berenang menembus ombak, dan hilang dari pandangan Rois. Ssekitar
setengah jam kemudian, badai benar benar mereda dan laut tenang. Kapal pukat
harimau mendekat dan mengangkat Rois. Rois membuka matanya dan Afrian sudah
berjongkok di sampingnya sambil tersenyum –senyum.
“Oh,
Afrian dimana kita..?”
“Diatas
pukat harimau. Kita tidak jadi masuk akhirat.”
“Dimna Pak
Sulaiman dan yang lainnya?”
“Jangan
khawatir, semuanya selamat.”
“Ya…Untung
aku tadi kebagian sebuah ban.”
Rois tersenyum dan semua awak kapal
sangat berterima kisih kepada Pak Sulaiman. Karna Pak Sulaiman yang
menyelamatkan mereka semua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar